Masyarakat Bali Permisif pada Politik Uang, Jangan Sampai Jadi Budaya

6 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Kekhawatiran ini mengemuka ketika hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unud terhadap Perilaku Memilih Masyarakat dalam Pilkada Bali Tahun 2024 diungkap dalam Diseminasi Hasil Kajian Publik Pilgub Bali 2024 di Kantor KPU Bali, Denpasar, Jumat (14/3/2025).

Penelitian tersebut menemukan sebanyak 58 persen responden menganggap politik uang sebagai sesuatu kewajaran. Data ini diperoleh dari proses wawancara tatap muka terhadap 800 sample Daftar Pemilih Tetap Pilkada Bali 2024 yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Bali pada 10-18 Februari 2025.

Selain itu, ditemukan pula bahwa 52,8 persen responden mengaku menerima pemberian kandidat/tim kampanye namun memilih sesuai hati nurani dan 15,1 persen responden juga mengaku menerima dan memilih kandidat yang memberikan. Artinya, jika didalami, sejatinya 67,9 responden permisif terhadap politik uang.

Anggota KPU Bali I Gede John Darmawan menuturkan bahwa hasil penelitian ini sesuatu yang mengejutkan, melihat bagaimana permisivitas pemilih terhadap politik uang. John yang juga Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM ini khawatir fenomena ini menjadi lambat laun menjadi budaya.

“Pragmatisme dalam proses demokrasi menjadi hal yang menonjol dalam kajian ini. Saya menyepakati bahwa suatu hal yang permisif akan menjadi kebiasaan. Dan ketika menjadi kebiasaan, akan menjadi budaya, dan akhirnya tidak akan kembali ke sediakala, yang dianggap baik,” ungkap John.

Pendidikan pemilih di masa mendatang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar KPU Bali untuk menghadapi hajatan pemilu mendatang. Bukan saja KPU, tetapi juga PR besar peserta pemilu di masa mendatang. Sebab, ketika politik uang sudah jadi budaya, biaya politik sampai kapanpun akan terus mahal.

“Kalau supply dan demand (politik uang) ini ada terus, siapa yang akan rugi? Ya, peserta pemilu juga,” tegas John.

John yang juga eks Ketua KPU Kota Denpasar ini menepis sosialisasi KPU Bali tidak maksimal dalam hal politik uang. Sebab, politik uang akan terus menjadi bagian pemilu selama rantai supply dan demand antara peserta pemilu dan pemilih masih ada dan tinggi, seperti data yang diungkap dalam penelitian.

Hal ini pun diamini Guru Besar Hukum Pemilu Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar Prof Dr I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa SH MHum. Ia menilai hasil kajian ini perlu menjadi catatan penting bagi semua stakeholder kepemiluan. Sebab, masalah politik uang tidak dapat diselesaikan dari satu sisi saja.

“Kalau masyarakat yang menerima senang, yang memberikan juga senang, tanpa diberikan sanksi, ini akan sulit. Secara filosofis ini kan memang tidak boleh, tapi secara sosiologis bagaimana mau menyelesaikan kalau seperti ini polanya?” ungkap Prof Lanang ketika ditemui usai diseminasi, Jumat siang.

Kata Guru Besar Hukum Pemilu pertama di Indonesia ini, paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan mengurangi permisivitas politik uang masyarakat Bali yaitu regulasi, penegakan hukum, dan budaya hukum. Hal ini dilakukan secara bersama yang pada akhirnya untuk membenahi budaya hukum masyarakat.

“Aturannya diperbaiki, dari UU sampai PKPU yang melarang politik uang (lebih rinci) di mana ada kesamaan komitmen yang membuat aturan dan peserta pemilu,” beber Prof Lanang yang juga eks Ketua KPU Bali ini.

Profesor yang juga Dekan Fakultas Hukum, Unmas Denpasar ini menilai regulasi politik uang masih abu-abu pada tatanan peserta pemilu yang merupakan petahana atau yang memiliki relasi dengan petahana. Celah ini menjadi ruang bagi praktik-praktik politik uang yang di depan layar terlihat seperti realisasi program pemerintah.

Hasil penelitian menunjukkan, responden menyukai pemberian kandidat/tim kampanye berupa uang tunai sebanyak 35,8 persen, sembako 26,6 persen, sumbangan pembangunan tempat 17,9 persen, sumbangan upacara adat 8,4 persen, safari kesehatan gratis 8,1 persen, dan seragam PKK/sekaa gong/tari dan lainnya 2,1 persen.

Kelemahan regulasi politik uang pada ranah tersebut telah mengkerdilkan aspek fairness (keadilan) dalam pemilu. Sebab, tidak akan ada fairness ketika salah satu kandidat diuntungkan dengan posisinya sebagai petahana maupun seseorang yang memiliki relasi biologis atau politis dengan petahana.

“Kedua, penegakan hukum. Harus pernahlah ditangkap kandidat yang melakukan politik uang. Dihukum tidak boleh atau digugurkan kepesertaannya. Sampai sekarang tidak ada yang begitu,” tegas Prof Lanang.

Di kepemiluan, leading sector penegakan hukum pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang didukung Polri dan Kejaksaan. Selain budaya hukum di aparatur negara seperti ini, budaya hukum masyarakat juga harus diperkuat melalui pendidikan pemilih yang menjadi ranah KPU.

Hanya saja, budaya hukum masyarakat khususnya pemilih sekarang ini, menurut Prof Lanang, menjadi sebuah ironi. Sebab, ketika ditanya politik uang itu boleh atau tidak maka pemilih akan menjawab tidak boleh sesuai etika. Tetapi, kalau ditanya senang atau tidak dengan politik uang maka akan dijawab senang.

“Boleh atau tidak memang tentang etika, jelas tidak boleh. Tapi, Anda senang atau tidak di lapangan? Senang. Nah, ini persoalan,” jelas Prof Lanang.

Pendapat Prof Lanang ini sejalan dengan hasil penelitian perilaku pemilih oleh KPU Bali dan LPPM Unud. Di satu sisi mayoritas responden permisif atau mewajarkan politik uang, di sisi lain 80,3 persen responden menyatakan Pilkada Bali 2024 sudah berjalan demokratis.

Prof Lanang mengingatkan, jangan sampai permisivitas politik uang dikaitkan dengan kedemokratisan pelaksanaan pemilu. Untuk itu, rantai politik uang harus diputus. Pemutusan praktik politik uang harus dilakukan dari atas, dari kandidat, atau dari proses penegakan hukum. *rat
Read Entire Article